Pada tahun 1963 Gubernur bank sentral
ditetapkan sebagai sebutan Menteri urusan bank sentral, pada waktu itu
segala urusan kebijakan moneter ditetapkan oleh Menteri urusan bank
sentral dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Waktu
itu aksi-aksi militer guna memadamkan pemberontakan didaerah makin
menggerogoti anggaran pemerintah, diperbesar lagi adanya propaganda
politik misalnya, pemberontakan Irian barat, konfrontasi dengan
Malaysia, pembangunan proyek2 mercusuar dan lain sebagainya, yang
akibatnya menimbulakn defisit bagi negara semakin parah. Defisit negara
yang semula pada tahun 1955 sebesar 14% membengkak menjadi 175%.
Sehingga untuk menutupinya pemerintah melakukan MONEY CREATION yang
mengakibatkan inflasi makin tinggi.
Tingginya
laju inflasi ini mnegikis tingkat suku bunga riil para deposan, bahkan
menjadi negatif. Akibatnya banyak bank yang menggunakan uang nasabah
dimasukkan ke institusi luar yang returnnya lebih tinggi termasuk
perdagangan komoditas yang untungnya jauh lebih besar. Sehingga BI
memberi aturan tegas bagi bank2 di Indonesi agar uang tidak lari keluar
guna menjaga likuiditas dalam negeri. Sifatnya adalah membatasi ruang
gerak dan peningkatan permodalan. Pemerintah memberikan aturan bahwa
seluruh saldo bank2 swasta harus dipindahkan ke rekening bank2
pemerintah. Untuk itu pemerintah mengharuskan bank-bank swasta menambah
jumlah modal sebesar 25 JUTA rupiah.
Namun
HIPERINFLASI tetap tidak dapat dihindari akibat MONEY CREATION yang
terus menerus, sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah
melakukan pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah.
Kebijakan ini memberikan pukulan besar bagi perbankan nasional, terutama
yang telah menyetor modal tambahan karena tergerus drastis dalam
sekejab. Para nasabah perbankan juga gigit jari akibat nilai dana
simpanannya juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai uang ini
ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap naik membumbung
tinggi maka terjadilah HIPERINFLASI.
Perlu
diketahui bahwa gejala HIPERINFLASI ini dulu juga dimulai dengan
menguatnya nilai tukar USD SEPERTI SEKARANG YANG TERJADI. Dimana USD
menguat takterkendali, padahal RESESI EKONOMI terjadi di negara yang
mengeluarkan uang USD tersebut. Waktu itu Indonesia amat bergantung pada
IMPORT sehingga bahan-bahan baku dan barang di Indonesia meningkat tak
terkendali, suku bunga bank meroket 90% guna mengurangi likuiditas yang
terlalu besar beredar di masyarakat. Dunia usaha macet, banyak
penganguran dimana-mana, GDP minus, banyak orang frustasi.
Ada
yang mempertanyakan mengapa ekonomi terpuruk hanya karena nilai mata
uang yang berubah? Itulah masalahnya karena banyak uang beredar terlalu
besar akibatnya menurunkan nilai mata uang itu sendiri. Tetapi lain bagi
pemilik emas, harganya masih tetap stabil, ketika rupiah terpuruk dari 1
USD menjadi 20.000 rupiah, maka harga emas akan semakin membumbung
tinggi , jika melakukan jual beli didalam negeri.
Indonesia
sendiri pernah mengalami inflasi yang cukup parah pada tahun 1998 yang
menyebabkan krisis ekonomi berkepanjangan yang sampai sekarang belum
‘sembuh’, dan kejadian ini sangat mungkin terulang kembali dan bahkan
bisa menimpa mata uang yang dianggap paling kuat saat ini (EURO/Dollar).
Untuk saat ini dolar memang cukup kuat, tapi perlu diingat bahwa dolar
yang beredar saat ini sudah terlalu banyak. Lebih dari 60% uang yang
beredar di dunia dalam bentuk dolar sementara dolar itu sendiri tidak
didukung dengan cadangan emas yang cukup. Oleh karena itu akan datang
saat dimana dolar tidak memperoleh kepercayaan dari masyarakat dunia
karena telah mengetahui nilai sejati dari dolar itu sendiri. Dan ini
tidak hanya membuat amerika yang kolaps tetapi juga negara-negara yang
menyimpan devisa dalam bentuk dolar (termasuk Indonesia) dan yang
selamat justru negara yang terlepas dari jerat dolar amerika.
0 Tanggapan:
Posting Komentar